Minggu, 22 Februari 2015

[Review] Supernova #4: Partikel



• Penulis : Dee Lestari
• ISBN : 978-6028811743
• Tebal : viii + 500 Halaman
• Berat : 600 gram

Sinopsis:
Di pinggir Kota Bogor, dekat sebuah kampung bernama Batu Luhur, seorang anak bernama Zarah, dan adiknya, Hara, dibesarkan secara tidak konvensional oleh ayahnya, dosen sekaligus ahli mikologi bernama Firas. Cara Firas mendidik anak-anaknya mengundang pertentangan dari keluarganya sendiri.

Di balik itu semua, masih tersimpan berlapis misteri, di antaranya hubungan khusus Firas dan sebuah tempat angker yang ditakuti warga kampung. Tragedi demi tragedi yang menimpa keluarganya akhirnya membawa Zarah ke sebuah pelarian sekaligus pencarian panjang.

Di konservasi orang utan Tanjung Puting, Zarah menemukan keluarga baru dan kedekatannya kembali dengan alam. Namun, bakat fotografinya membawa Zarah lebih jauh dari yang ia duga. Di London, tempat Zarah akhirnya bermarkas, ia menemukan segalanya. Cinta, persahabatan, pengkhianatan. Termasuk petunjuk penting yang membawa titik terang bagi pencariannya.

Sementara itu, di Kota Bandung, Elektra dan Bodhi akhirnya bertemu. Secara bersamaan, keduanya mulai mengingat siapa diri mereka sesungguhnya.
***

Partikel adalah novel pertama dalam seri Supernova yang saya baca. Hasil dari meminjam novel milik seorang teman yang bahkan mengoleksi seri-seri awal novel Supernova yang dijual dan dicetak secara indie oleh Dee Lestari sewaktu dia—teman saya—tinggal di Bandung. Dulu, sewaktu dia memamerkan koleksi Supernova miliknya—kala itu saya masih SMP, saya tidak begitu tertarik karena teramat berat bagi otak saya untuk mencerna isi yang tertuang dalam novel Ksatria, Putri dan Bintang jatuh. Sampai sekarang pun saya masih tetap merasa seri pertama Supernova ini memang yang paling susah dicerna.

Sejak membaca Partikel yang sejak bab I, membuat saya tidak bisa tutup buku meski mata ini ngantuk. Sejak itu saya jadi mencintai karya-karya Dee Lestari. Partikel begitu istimewa menurut saya. Riset mbak Dee yang begitu mendalam seolah mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami Zarah, membuat saya terpukau. Mbak Dee sangat detail dalam menuliskan latar tempat entah di lingkungan masa kecil Zarah yakni Batu Luhur, Bukit Jambul, Tanjung Putting dan suasana di Eropa sana. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama yakni Zarah semakin membuat pembaca ikut hanyut dan merasakan sendiri rasanya menjadi seorang Zarah. Isi dalam novel ini juga sangat informatif. Saya menemukan hal-hal baru yang sebelumnya tidak saya ketahui. Namun di hampir akhir cerita, saya cukup bosan membacanya--di bagian percakapan Zarah dan Simon--karena saya merasa seperti membaca buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Hehehe~ Teori-teori atau penjelasan dalam percakapan itu susah ditangkap. Mungkin sayanya saja yang lola.

Diceritakan bahwa Zarah adalah putri dari keluarga terpandang di desanya Batu Luhur, Bogor. Kakeknya adalah tokoh agama keturunan Arab yang dihormati penduduk setempat, lalu sang ayah yang adalah penduduk asli Batu Luhur yatim piatu yang diadopsi oleh Kakek Zarah. Sang ayah yang adalah lulusan Institut Pertanian Bogor sudah menjadi dewa penyelamat kampungnya dengan memberikan solusi-solusi jitu pada warga kampung dalam hal pertanian sehingga dapat memajukan kampung. Nekat memperistri adik angkatnya sendiri adalah pemberontakan pertama Firas, ayah Zarah. Hal itu jugalah awal yang membuat hubungan Abah dan Firas renggang.

Sejak kecil, Zarah lebih dekat dengan ayah daripada ibunya. Dia sering bersitegang dengan ibu, abah juga uminya apalagi setelah sang ayah menghilang. Dan karena sang ayah sudah seperti guru baginya, Zarah juga harus dipaksa untuk mau sekolah. Sampai diiming-imingi mainan oleh uminya. Di sekolah pun Zarah juga susah untuk bergaul. Dia yang punya pemikiran unik menjadi seperti alien di tengah-tengah remaja normal. Berikut percakapan yang langsung membuat saya tergelak:

“Kamu ibadah di mana dong, Zarah?”
“Di kebun.”
“Sembahyang di alam terbuka, maksudnya?”
Aku mengangguk.
“Jangan-jangan, kamu sebetulnya aliran animism-dinamisme gitu, ya?”
Apa pula itu? Aku mengangguk saja.
“Kamu menyembah apa?”
“Jamur.”

Inilah alasan Zarah berkata demikian:












Perjalanan hidup Zarah membuat pembaca—yakni saya—terus tertarik untuk lanjut membaca. Sedari kecil, saat sekolah, pengalamannya di Bukit Jambul yang menurut ayahnya ada tempat di mana alien turun ke bumi hingga dia memenangkan lomba fotografi dan sampailah di Tanjung Puting lalu menetap di sana selama beberapa tahun menjadi ibu yang merawat orang utan bernama Sarah, sekaligus terus melanjutkan hobinya memfoto alam membuat saya bisa membayangkan dengan jelas bagaimana kehidupan di pedalaman khususnya di kamp penyelematan orang utan. Selanjutnya pengalaman hidupnya bergulir hingga dia di London, Inggris. Bekerja untuk Paul, orang yang dikenalnya saat berada di Kalimantan, berkenal dengan seorang laki-laki, berhubungan dengannya hingga akhirnya harus sakit hati karena dikhianati. Di akhir kisah Zarah dia dibuat penasaran oleh sebuah surat yang dia temukan di jurnal milik ayahnya yang diawali dengan, untuk: Partikel. Zarah tahu, partikel yang dimaksud di sini adalah dirinya. Karena kata sang ayah Zarah berarti unsur terhalus dalam setiap benda.



Dalam novel ini, perjalanan hidup Zarah adalah sebuah paket lengkap. Ketika Anda membaca novel ini, maka akan ada tangis haru, rasa sebal, sedih, penasaran, tertohok, geli karena tingkah Zarah yang kadang memang lucu—menurut saya—lalu ada banyak sekali point yang bisa dipetik.



Oh, ya… Bagi penikmat Supernova di buku sebelumnya. Ada satu bab di paling akhir. Dituliskan akhirnya Bodhi (tokoh dalam Akar) bertemu dengan Elektra (tokoh dalam Petir).



Berikut adalah kalimat-kalimat yang saya suka (sengaja di capture biar pada penasaran #evillaught) :
Hal. 9

Hal. 126

Hal. 194

Hal. 196

Hal. 280

Hal. 313

Hal. 326

Hal. 468







(Review ini diikutkan dalam Read Big Challenge: http://orybooks.blogspot.com/2014/12/master-post-read-big-challenge.htmlhttp://orybooks.blogspot.com/2014/12/master-post-read-big-challenge.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar